FSGI Dorong KPAI Bersikap Tegas Terkait Pemenuhan Hak Terhadap Anak, Korban David dan Anak Saksi AG Sesuai Kewenangannya
Jakarta, tempoNews - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengutuk penganiayaan terhadap ananda David (17 tahun) yang dilakukan oleh Mario Dandy (20 tahun) hingga mengakibatkan korban mengalami luka serius bagian kepla sampai koma di Rumah Sakit.
“Kita semua tidak membenarkan tindakan kekerasan, oleh karena itu FSGI mengutuk tindak kekerasan terhadap ananda David, semoga ananda David dapat segera sadar dan mendapatkan perawatan yang optimal agar segera pulih kesehatannya”, ujar Heru Purnomo, Sekjen FSGI.
Sehubungan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terhadap David, muncul satu nama remaja putri, berinisia AG (15 tahun) yang merupakan pacar dari pelaku penganiaya dan kebetulan pernah menjadi pacar anak korban.
AG sudah menjalani pemeriksaan di kepolisian pada Jumat dan Sabtu (24 dan 25 Februari) lalu, dengan status masih menjadi saksi.
Beredar narasi bahwa AG diduga menjadi provokator dari tindak kekerasan yang dilakukan Mario.
Namun, pendamping hukum AG menyatakan bahwa AG tidak melakukan provokasi. Dampak dari beredarnya narasi tersebut, yang mendahului keterangan pihak kepolisian, mengakibatkan AG nyaris dikeluarkan dari sekolahnya.
"Yang resmi diumumkan kepolisian kepada publik justru ditetapkannya Shane (19 tahun) yang diduga kuat melakukan provokasi dengan bukti-bukti yang sudah diperoleh polisi," ungkap Heru.
Narasi yang beredar tersebut berdampak pada pembullyan terhadap anak saksi AG dan bahkan ada puluhan karangan bunga di Polres Jakarta Selatan yang mendorong saksi AG ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut kuasa hukum, semua hal tersebut berdampak pada psikis AG.
Hal tersebut yang kemudian mendorong perwakilan keluarga AG dan kuasa hukumnya mendatangi KPAI pada Selasa (28/2) kemarin.
AG yang masih usia 15 tahun meminta perlindungan dari KPAI.
"Namun, dari pengamatan FSGI sejak kasus ini mengemuka, KPAI belum pernah sekalipun menyampaikan rilis resminya, padahal ada 2 anak dalam pusaran kasus ini, yaitu AG dan anak korban David”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
Padahal, banyak sekali yang dapat dilakukan KPAI terkait tugas dan fungsinya dalam UU Perlindungan Anak atas kasus penganiayaan terhadap David, terutama terkait pengawasan kepada berbagai pihak, mulai dari Kepolisian, sekolah, sampai P2TP2A, dll.
KPAI justru cenderung terlihat gagap menghadapi kasus ini.
Hak Atas Pendidikan Anak Saksi AG Harus Tetap Dipenuhi
Merujuk pada UU Perlindungan Anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, maka anak atau peserta didik yang menjadi pelaku, saksi maupun korban tindak kekerasan tetap wajib dipenuhi hak atas pendidikannya, pihak sekolah wajib memberikan pembelajaran.
Jika tidak bisa secara luring, maka pembelajaran dapat dilakukan secara daring atau Pembelajaran Jarak jauh (PJJ).
Oleh karena itu, pihak sekolah AG yang awalnya sempat menyatakan akan memberikan sanksi pada AG, diurungkan.
Hal ini berbanding terbalik dengan sikap kampus pelaku MDS yang langsung menjatuhkan DO.
Apa yang dilakukan pihak sekolah AG sudah tepat dan sesuai aturan. Bahkan sekolah semestinya harus tetap memenuhi hak atas pendidikan AG selama yang bersangkutan berproses hukum.
"Apalagi status AG masih berstatus sebagai saksi”, tegas Retno.
Retno menambahkan kalaupun terjadi perubahan status AG dari saksi menjadi tersangka, nantinya karena adanya alat bukti pendukung, maka hak atas pendidikan AG pun selama proses hukum berjalan tetap harus dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundangan.
Bisa dilakukan pembelajaran jarak jauh atau melalui daring.
"Mempertimbangkan penghargaan terhadap penegak hukum Kepolisian RI yang sedang bekerja melaksanakan tugas serangkaian proses pidana korban penganiayaan David yaitu penyelidikan dan penyidikan dan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 48 Tahun 2009 pasal 8 ayat (1) maka FSGI mendorong semua pihak terkait agar tidak berupaya, mengusulkan, mengambil keputusan yang merugikan hak atas pendidikan anak, sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, pungkas Guntur Ismail, Ketua Tim Kajian Hukum FSGI. Rill/FSGI