Catatan FSGI Sudah Ada 10 Kasus dan 86 Anak Korban Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Tahun 2023
Jakarta, tempoNews - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat di awal tahun 2023 selama bulan Januari sampai 18 Februari ada 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak di satuan pendidikan.
Sembilan (9) kasus tercatat sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian dan semua dalam proses penanganan oleh kepolisian.
Sedangkan 1 kasus di Gunung Kidul diselesaikan dengan memindahkan kelas mengajar dan pengurangan jam mengajar oknum guru pelaku.
FSGI mengkritik hukuman semacam itu, karena tidak mempertimbangkan kondisi psikologis korban yang masih bersekolah disitu dan kemungkinan besar setiap hari bertemu oknum guru pelaku di lingkungan sekolah itu.
Sementara guru pelaku tetap berpotensi melakukan hal yang sama tapi pada anak yang lain.
"Keputusan hukuman semacam itu tidak akan menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak berpresfektif melindungi anak di lingkungan sekolah”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
FSGI menemukan bahwa sebanyak 50% kasus kekerasan seksual terjadi dijenjang SD/MI, 10% di jenjang SMP, dan 40% di Pondok Pesantren.
Dari 10 kasus tersebut, 60% satuan pendidikan tersebut di bawah kewenangan Kementerian Agama dan 40% dibawah kewenangan KemendikbudRistek.
Sementara itu, Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan, kekerasan seksual terhadap anak yang berbasis daring pada tahun 2023 ada 1 kasus (10%) dan 90% kasus dilakukan secara luring oleh pelaku.
"Kekerasan seksual berbasis daring terjadi diawal tahun 2023 ini, menyasar pada anak-anak usia SD dengan jumlah korbannya 36 anak, dan 22 anak dari 36 tersebut merupakan teman satu sekolah yang sama, laki-laki maupun perempuan," ungkap Heru.
Heru menambahkan, korban rata-rata berusia 12 tahun, dikenal pelaku melalui akun facebook. Modus pelaku mengirimkan konten pornografi melalui grup WhatsApp anak anak korban dan video call pribadi dengan meminta anak korban melepas pakaiannya.
Adapun wilayah kejadian berada di 5 (lima) provinsi dan 10 kabupaten/kota dengan rincian kabupaten/kota sebagai berikut :
- Provinsi Lampung : kabupaten Mesuji, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara dan Lampung Barat
- Provinsi Jawa Tengah : Kabupaten Batang dan Kota Semarang
- Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta : Kabupaten Gunung Kidul
- Provinsi Jawa Timur : Kabupaten Jember
- Provinsi DKI Jakarta : Kota Jakarta Timur
“Data tersebut menunjukan bahwa 50% kasus KS di satuan pendidikan terjadi di provinsi Lampung, hal ini tentunya memerlukan pendalaman lebih jauh terkait factor sebab akibatnya dan upaya menanggulanginya. Sedangkan 20% terjadi di Jawa Tengah dan 10% masing-masing terjadi di DIY, Jawa Timur dan DKI Jakarta”, pungkas Heru.
Modus Kekerasan Seksual (KS)
Dari 10 kasus di tahun 2023 ini, FSGI mencatat ada sejumlah modus pelaku dalam melancarkan aksi bejatnya terhadap anak korban, yaitu sebagai berikut :
(1) Dibujuk agar mendapatkan barokah dari Tuhan oleh pelaku yang pemilik Ponpes
(2) valuasi pembelajaran di dalam ruang Podcast Ponpes pada pukul 23.00 wib kemudian dicabuli
(3) Diiming-imingi uang dan jajanan oleh pelaku
(4) Lapor dilecehkan teman sekolah ke Kepala sekolah, malah dicabuli Kepsek di ruang UKS dengan dalih memeriksa dampak pelecehan yang dilaporkan
(5) Guru kelas menyentuh pinggang dan dada, siswinya melawan, namun si guru malah mengulangi
(6) Guru agama periksa PR, siswi dipangku dan diminta kakinya mengangkang
(7) Pelaku bukan guru, ybs berkenalan dengan anak korban melalui medsos, lalu dimasukan korban ke grup WA teman sekolahnya, pelaku melakukan video call, mengirimi video porno dan melakukan kekerasan seksual berbasis daring terhadap 22 siswi SD dari sekolah yang sama.
(8) korban diberi uang dan diajak ke kantin, lalu di ciumi dan diremas dadanya
Dari 8 modus tersebut, terutama kasus KS yang terjadi di satuan pendidikan berasrama berbasis agama, FSGI menilai bahwa relasi kuasa antara tokoh agama dan santrinya melekat kuat di pesantren.
Nilai-nilai ketakziman santri untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kiai atau ustadnya merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.
“Sehingga, Pelaku biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan maupun tindakannya. Hingga hanya sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan seksual yang dialami korban yang notabene masih di bawah umur”, tegas Retno.
Mutasi Bukan Hukuman
FSGI mengamati bahwa selama ini, jika terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh pendidik, maka acuan hukuman yang digunakan oleh Dinas Pendidikan dan SKPD lainnya di Indonesia dalam mengurus guru dan non guru PNS dan PNS lainnya, yang menjadi pelaku pidana KS misalnya, maka biasanya digunakan Peraturan yang dipakai sebagai acuan adalah PP No.53 Tahun 2010.
Tidak ada peraturan lain yang terkait mutasi khusus bagi guru yang merugikan peserta didik kecuali PP No. 53 Tahun 2010 tersebut.
Dinas Pendidikan di Indonesia umumnya menggunakan peraturan yang berlaku umum yaitu peraturan kepegawaian.
Sehingga, yang dihukum dalam hal ini bukan jabatan gurunya melainkan pegawainya, sementara dalam hukum kepegawaian tidak ada hukuman penjara, sehingga kerap kali sanksi ketika korban tidak melapor ke polisi terkait perbuatan pelecehan seksual dan bahkan pencabulan adalah berupa mutasi.
Padahal mutasi sejatinya bukanlah hukuman, tetapi untuk promosi jabatan atau atas keinginan si pegawai sendiri.
Dampaknya untuk sejumlah kasus, si guru pelaku mengulangi perbuatan yang sama kelak di kemudian hari di tempat bertugasnya yang baru dengan korban anak yang lain, artinya tidak ada efek jera dengan hukuman mutasi.
Misalnya, kasus KS guru agama berinisal AM (33 tahun) dan berstatus PNS yang juga menjabat pembina OSIS di SMPN di kabupaten Batang, Jawa Tengah (2022), ternyata pelaku sebelumnya diduga pernah melakukan KS di sekolah sebelumnya, namun keluarga korban tidak melapor ke polisi.
"Ada juga kasus guru agama dengan status PNS berinisal M (51 tahun) di salah satu SD di kabupaten Cilacap yang cabuli 15 siswinya di berakhir dengan mediasi yang kemudian guru pelaku dimutasi, lalu berbuat KS lagi terhadap siswinya di sekolah yang baru”, ujar Guntur Ismail, Ketua Tim Kajian Hukum FSGI.
Guntur menambahkan, untuk kejahatan seksual yang dilakukan secara berulang dengan melihat kasus dan dampak yang ditimbulkan bagi korban,orang tua,masyarakat dan latar belakang pelaku menyalahgunakan kekuasaan,hendaknya menjadi prioritas dalam penegakan hukum penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 12 Tahun 2022 pasal 6 huruf c dengan ancaman hukuman pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 300.000.000 ( tiga ratus juta rupiah)”.
Rekomendasi
- FSGI mendorong Pemerintah Pusat maupun daerah untuk memastikan bahwa, para pendidik yang menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak didiknya harus dipidana, hal ini untuk mendorong adanya efek jera sekaligus tidak ada anak yang menjadi korban lagi.
- Kalau hukumannya hanya mutasi, maka diduga kuat guru pelaku tersebut berpotensi melakukan perbuatan yang sama di tempat yang baru dengan korban lain.
- Mendorong hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sesuai dengan mandat dari UU RI No. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual yang menyatakan bahwa Perkara tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan
- FSGI mendorong KemendikbudRistek melakukan sosialisasi secara masif dan implementasi kebijakan dari Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan
- FSGI juga mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan penanggulangan Kekerasan seksual di Madrasah dan pondok pesantren atau satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag, mengingat kasus KS nya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek
- FSGI mendorong Kemenag RI dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Lampung melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No. 73 Tahun 2022 ke seluruh lembaga berbasis keagamaan (formal dan non formal) dengan menekankan keberpihakan terhadap korban. Mengingat, kasus-kasus KS terjadi disejumlah pesantren di wilayah Lampung
- FSGI mendorong Dinas-dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi dan Kantor Kemenag Kabupaten/Kota/Provinsi untuk melakukan Kerjasama dengan SKPD di daerah seperti Dinas PPPA dan P2TP2A Kabupaten/Kota/Provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang Pendidikan Sekolah Dasar (SD)
- FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan Kerjasama dengan Perguruan-perguruan Tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat proses pemilihan psikologi anak korban KS umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup Panjang dan harus tuntas. (Tim FSGI)